Mlipir ke Eropa (4): Ke Istanbul demi menghindari bayar denda

Saudi merupakan salah satu negara yang unik dalam urusan keimigrasian. Selain tidak ada visa turis (dulu, sekarang rencananya ada), di negara ini juga ada yang namanya exit re-entry visa, semacam surat ijin untuk keluar atau masuk kembali ke negara ini yang masa berlakunya 1 tahun. Biasanya warga asing yang tinggal dsini disarankan untuk membuat exit reentry visa ketika ada rencana untuk melakukan perjalanan ke luar negeri dalam waktu satu tahun ini. Karena jika exit reentry visa ini tidak digunakan dalam waktu satu tahun, akan ada denda yang lumayan, 1000 SAR atau sekitar 5 juta rupiah untuk kurs saat ini.

img_2698
Pagi hari di bandara Madinah

Dan begitulah ceritanya, di akhir bulan Januari 2014, saya lupa mengecek dan ternyata exit reentry visa saya akan segera habis dan saya tidak mau didenda. Akhirnya saya mencari cara bagaimana menggunakan exit-reentry visa ini tanpa harus membuat visa baru. Artinya pergi ke negara luar Saudi yang tidak memerlukan visa bagi orang Indonesia. Salah satu kelemahan passport Indonesia, kemana-mana perlu visa. Hanya sedikit negara yang memberlakukan bebas visa atau visa on arrival, salah satunya Turki. Akhirnya, setelah mengecek tiket beberapa maskapai, kamipun memilih pergi ke Turki, singkat saja, hanya dalam waktu 4 hari. Oia, Setelah Agustus 2013, saya hampir tidak pernah wara wiri kesana kemari sendiri lagi, selalu ada yang setia menemani, suami saya yang kece.

Saya lupa bagaimana detailnya atau apa alasannya, kemungkinan karena saya terlalu hemat (cenderung mendekati pelit) kami naik pesawat Saudi Airlines menuju Istanbul, saya transit di Madinah sedangkan suami saya direct flight. Yup, kami berangkat bersama ke Bandara Jeddah, saya kemudian ke Madinah, Suami menunggu flightnya di Jeddah, dan kami kembali bertemu di Istanbul karena flight kami tiba hampir bersamaan. Pertemuan yang hanya mengandalkan kekuatan perasaan (tsaaaaah) karena HP jadul kami tidak bisa internetan dan nomor Saudi tidak berlaku disana!

Penerbangan ke Madinah adalah penerbangan domestic pertama bagi saya selama di Saudi. Kurang lebih sama karena isinya 99.99% orang Saudi. Hanya dibutuhkan sekitar 1 jam dari Jeddah ke Madinah, saya tiba pagi hari sekitar pukul 8. Matahari baru saja muncul dari balik bukit-bukit batu di sekitar bandara. Ya, bandara ini cukup menakutkan bagi saya karena lokasinya yang dikelilingi bukit-bukit batu. Bandara Madinah jauh lebih bersih dibanding Jeddah, mungkin karena tidak terlalu banyak penerbangan dari dan ke bandara ini. Setelah ganti terminal dan cek imigrasi saya menunggu flight berikutnya dalam keheningan, ditemani secangkir kopi.

Setelah beberapa jam menunggu, akhirnya sayapun naik pesawat menuju Istanbul. Bertemu suami saya yang tiba sekitar 30 menit lebih awal, kami langsung menukar uang untuk membayar visa on arrival. Walaupun prosesnya tidak seheboh di Jeddah, antrian imigrasi di Istanbul ternyata lumayan panjang, terdiri dari orang-orang yang jika melihat sekilas dari parasnya kebanyakan orang-orang negara stan. Satu-satunya bandara yang saya tidak pernah merasakan antrian imigrasi yang berarti hanya di Singapore.

Dari bandara kami naik taksi menuju hotel karena belum terlalu hafal jika harus naik kereta. Ah sebenarnya bukan hotel juga, lebih mirip disebut hostel, tapi homey, bersih dan terawat. Sepanjang jalan pak supir bercerita tentang kehidupan di turki. ya seperti biasa, betapa susahnya hidup di Istanbul, semua mahal, pekerjaan susah, dll, dan tentu saja membandingankannya dengan Indonesia dan Saudi setelah tau kami orang Indonesia yang tinggal di Saudi. Nilai lebihnya, kami diberi tau beberapa spot menarik yang bisa dikunjungi karena memang saya tidak punya tujuan pasti selama di Istanbul ini, selain untuk menghindari denda 🙂

Hotel kami berada tidak jauh dari Haghia Sophia dan masjid sultan Ahmet, hanya sekitar 2 station naik tram. Ke sebelah kanan jalan lurus dari hotel bisa sampai ke bhosporus atau ke spices market yang terkenal itu. Di sepanjang jalan berjajar penjual souvenir dan makanan khas turki, yang sayangnya, saya kurang suka. Ah ada toko seprei dan bed cover cantik-cantik persis di depan hotel. Beberapa kali kami mengunjunginya dan saya jatuh cinta dengan koleksi quilt covernya yang bagus-bagus, bahannya lembut dengan corak menarik, dan harga yang tidak terlalu mahal dibanding quilt cover ikea atau pottery barn. Penjaga tokonya seorang pengungsi Syiria yang sudah beberapa lama tinggal di Istanbul. Saat itu dia berkata jika Bashar Ashad tumbang, kami bisa mendapatkan diskon. Ah sayang sekali sampai sekarang tidak ada yang berubah di Syiria, malah keadaannya semakin memburuk.

img_2696
Taksim square

Selama di Istanbul kami tidak pergi ke banyak tempat karena alasan yang masuk akal, saya kedinginan! Suhu udara yang sampai 0 atau -2 derajat C saat itu sudah sangat terasa ekstrim bagi orang gurun seperti saya. Ditambah pula dengan kuatnya tiupan angin, rasa dingin itu semakin menusuk jauh ke dalam tulang belulang, sayapun menyerah. Kami baru keluar dari hotel di siang hari, berjalan kaki menuju Haghia Sophia dan Sultan Ahmet. Sayangnya waktu itu sedang ada perbaikan di Haghia Sophia sehingga banyak tempat yang ditutup. Saya sedikit heran karena turis tetap ramai walaupun suhu udara sangat dingin, mereka tetap menikmati mengunjungi bangunan-bangunan indah bersejarah panjang di Istanbul, bahkan rela untuk mengantri dan membayar tiket, seperti ketika masuk ke Haghia. Setelah berkeliling di Haghia, kami kemudian sholat dzuhur dan ashar di Masjid Sultan Ahmet yang terletak persis didepannya, hanya terhalang sebuah taman dan beberapa pedagang kacang rebus, sarung tangan, dan makanan-makanan kecil khas Turki. Masjid Sultan Ahmet juga dibuka untuk pengunjung muslim dan bukan muslim, tetapi ditutup jika waktu sholat tiba.

Selesai sholat, kami membeli sarung tangan karena ternyata telapak tangan kami sudah hampir membeku kedinginan. Capek berjalan dalam kedinginan, kamipun lapar dan mencari makanan. Saya yang tidak bisa makan makanan Turki sedikit kesulitan, akhirnya kamipun mendekati pos polisi penjaga untuk menanyakan dimana restaurant cina terdekat. Shock dengan pertanyaan yang tidak diduga, akhirnya bapak-bapak polisi itu menggelengkan kepala sambil berucap: kalian kan lagi di turki, kok nyari makanan cina? please deh?

img_2694
Masjid Sulaiman

Kamipun hanya berjalan mengikuti langkah kaki, menyusuri gang-gang kecil berlantai batu khas zaman dulu, dan tanpa sengaja sampailah kami di restaurant cina. Dimanapun di dunia ini mereka selalu ada, jadi tidak perlu khawatir tidak makan nasi. Puas makan kami kembali ke hotel dan tidur. Kalau bosan makan di luar, kami kadang masak indomie di dapur yang disediakan hostel, sambil mengobrol dengan beberapa orang turis yang sama-sama menginap di hostel murah seperti kami ini. Makan indomie ditemani teh manis hangat dalam kedinginan kota Istanbul ternyata menyenangkan juga. Keesokan harinya kami pergi ke taksim square, tempat dimana toko-toko berbagai merek berjajar, semacam camp de elyse nya Paris atau tahlia streetnya Jeddah, hanya saja di taksim square dikhususkan untuk pejalan kaki. Hanya ada sebuah tram tua berwarna merah-katanya tertua di dunia- yang terbuka tanpa jendela, yang lewat pulang pergi dari ujung ke ujung taksim square mengangkut para wisatawan. Hanya sebentar saja di taksim square tiba-tiba suhu udara kembali turun, kamipun berlari ke stasiun kereta dan kembali ke hotel. Hari ketiga kami hanya berjalan di sekitaran kemudian menemukan masjid yang sudah sangat tua yang ternyata bernama masjid sulaiman. Jalan lurus dari masjid Sulaiman turun ke bawah lewat terowongan, ternyata banyak sekali pedagang, terutama baju-baju dan mainan murah buatan cina. Jalan lurus terus ke atas sampailah kita ke spices market, tempat orang-orang berjualan berbagai macam bumbu masak khas Turki yang berwarna warni dan beraroma sangat kuat. Kami hanya melihat-lihat karena tidak tertarik untuk membeli. Hanya ingin merasakan suasana pasar yang katanya persis sama dengan zaman-zaman dahulu kala. Keluar dari spice market kami terus berjalan dan menemukan toko-toko penjual coat panjang perempuan turki yang terkenal itu. Sayapun tidak bisa mengendalikan diri, dan menyerah untuk yang ini.

Hari keempat pagi-pagi kami hanya tiduran siap-siap untuk pulang. Dengan fasilitas mobil antar jemput kami diantar ke bandara dan terkejut menerima pengumuman pesawat menuju Madinah delay selama 6 jam. Sebagai gantinya kami diberi voucher makan di kantin dalam bandara. masalah baru bagi kami, karena penerbangan kami nyambung dari Madinah ke Jeddah dan di Jeddah kamipun sudah booking taksi dari kampus, sesuai dengan jadwal awal penerbangan dari Istanbul ke Madinah. Untuk mengganti semuanya, tentu kami perlu alat telekomunikasi berupa telpon atau internet, yang sayangnya tidak kami punya saat itu. Memaksakan diri nongkrong di kedai kopi demi mendapatkan internetpun gagal karena ternyata tidak ada wifi. Ah tiba-tiba saya jadi cinta Cengkareng. Akhirnya kamipun berlari mencari petugas maskapai penerbangan yang kami booking dan bertemu supervisornya, dengan keahlian memaksa orang yang saya dapat dari pak bos, akhirnya pak supervisor mau meminjamkan telpon untuk mengcancel taksi dan mencari cara untuk mengganti penerbangan sambungan dari Madinah ke Jeddah. Apakah saya harus menyebutkan juga bahwa di bandara itu ada sebuah kedai mie yang sangat enak? Mie fusion antara Cina dan Uighur dengan kuah kental berwarna merah, segar dan sangat mengenyangkan!

Singkat cerita naiklah kami ke pasawat tujuan Madinah yang isinya sangat penuh, kamipun duduk di belakang. Tidak lama setelah take off, tiba-tiba kami mendengar suara keributan dari depan. Bak-buk-bak-buk hiyat dezig, dua orang bapak-bapak tua berwajah arab dan Turki saling memukul dan memaki dengan bahasa yang tidak saya mengerti. Tidak tau pasti karena apa kemungkinan rebutan space untuk menyimpan tas, bapak-bapak umur 50an tidak bisa menahan emosi, pun ketika sudah dilerai oleh pramugari dan co-pilot, termasuk seorang bapak berwajah sholeh yang lari dari belakang dan melerai dengan mengeluarkan nasihat berupa ayat Qur’an dan hadits. Luar biasa! Ternyata kehebohan ibu-ibu membawa air minum 1L dari Batam ke Medan tidak ada apa-apanya. Perkelahian di atas ketinggian ribuan meter di dalam sebuah pesawat berkecepatan tinggi! Salah satu dari mereka mengeluarkan darah dari hidungnya dan sudah ditunggu dengan manis oleh pak polisi ketika pesawat mendarat di Madinah.

Belum selesai disana, kamipun melanjutkan perjalanan ke Jedah dengan maskapai yang sama, dalam keadaan yang tidak lebih baik. Pesawat kecil yang sudah kusam, penumpang sangat penuh, dan kami kebagian kursi paling belakang, pojok kanan. Pesawat take off penuh guncangan dan kami hanya pasrah. Ketika tiba saatnya pembagian snack, mbak-mbak pramugari berusaha mendorong trolley yang rodanya sudah hilang satu, sehingga tidak ada keseimbangan, seperti saling mendukung dengan keadaan pesawat yang sudah berumur. Lengkaplah sudah, sepanjang penerbangan satu jam itu guncangan tidak pernah berhenti, rollercoaster doangmah lewat. Bersyukur sekali kami ketika mendengar pengumuman bahwa pesawat telah mendarat dengan selamat di Jeddah.

Leave a comment